Ilustrasi sawah
BOYOLALI, KOMPAS.com -
Petani di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah antusias melakukan
mengembangan cara bercocok tanam padi dengan sistem tanam benih langsung
(tabela) karena lebih menguntungkan dan efektif.
"Sistim tabela tersebut sebetulnya diperkenalkan kepada petani Boyolali sejak lima tahun lalu, tetapi baru sekarang mereka mulai mengembangkan dan akan meninggalkan sistim tradisionalnya," kata Kepada Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Boyolali Juwaris, Rabu (2/12).
Menurut Juwaris, sistim tabela memiliki keuntungan, antara lain pemakaian benih padi lebih irit, tidak perlu tenaga tanam banyak.
Proses dari tanam hingga panen juga lebih cepat dibanding cara tradisonal sehingga banyak petani setempat mencoba sistim tersebut.
"Sistim tabela itu banyak dipakai oleh petani modern, sedangkan petani tradisional masih sulit untuk berpindah," katanya.
Koordinator penyuluh pertanian Kecamatan Banyudono, Sugimin menjelaskan, pihaknya telah melakukan sosialiasi sistim tabela di Desa Jipangan, Kecamatan Banyudono dan petani setempat merespon dengan baik.
Petani setempat menyambut antusias dan mencoba peralatan dengan cara ditarik dan kedua sisinya dipasang roda sehingga saat tarikan kelihatan ringan.
Mereka atusias sistim tabela, karena selama ini sulit mencari tenaga tanam dan harus melakukan antrean hingga sepekan. Sistim itu, dapat mengatasi berkurangnya tenaga tanam padi.
"Luas lahan sawah 2.600 meter persegi hanya butuh sekitar dua jam. Sedangkan, cara tradisional butuh waktu sehari penuh," katanya.
Selain itu, sistim tabela tidak ada stagnasi sehingga pertumbuhannya tanaman padi sangat cepat, sedangkan cara tradisional benih harus dicabut lebih dulu, baru ditanam sehingga pertumbuhannya bisa terhambat.
Masa panen tabela lebih singkat misalnya, masa panen varitas padi Membaramo memerlukan waktu antara 110- 115 hari, tetapi sistim tabela hanya umur 90 hari sudah bisa panen.
"Pemakaian benih lebih hemat yakni sekitar 15 kilogram per hektare. Cara tradisional bisa butuh benih 30 kilogram per hektare hingga 40 kilogram per hektare," katanya.
Kendati demikian, sistem tabela juga memiliki kekurangan, antara lain lahan kering dapat menyatu dengan rumput atau gulma, jatuhnya benih tidak bisa sama.
"Sistim tabela pertumbuhan benih bersaing dengan pertumbuhan rumput, karena pada pekan pertama lahan dikeringkan, yang memacu pertumbuhan rumput atau gulma," katanya.
"Sistim tabela tersebut sebetulnya diperkenalkan kepada petani Boyolali sejak lima tahun lalu, tetapi baru sekarang mereka mulai mengembangkan dan akan meninggalkan sistim tradisionalnya," kata Kepada Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Boyolali Juwaris, Rabu (2/12).
Menurut Juwaris, sistim tabela memiliki keuntungan, antara lain pemakaian benih padi lebih irit, tidak perlu tenaga tanam banyak.
Proses dari tanam hingga panen juga lebih cepat dibanding cara tradisonal sehingga banyak petani setempat mencoba sistim tersebut.
"Sistim tabela itu banyak dipakai oleh petani modern, sedangkan petani tradisional masih sulit untuk berpindah," katanya.
Koordinator penyuluh pertanian Kecamatan Banyudono, Sugimin menjelaskan, pihaknya telah melakukan sosialiasi sistim tabela di Desa Jipangan, Kecamatan Banyudono dan petani setempat merespon dengan baik.
Petani setempat menyambut antusias dan mencoba peralatan dengan cara ditarik dan kedua sisinya dipasang roda sehingga saat tarikan kelihatan ringan.
Mereka atusias sistim tabela, karena selama ini sulit mencari tenaga tanam dan harus melakukan antrean hingga sepekan. Sistim itu, dapat mengatasi berkurangnya tenaga tanam padi.
"Luas lahan sawah 2.600 meter persegi hanya butuh sekitar dua jam. Sedangkan, cara tradisional butuh waktu sehari penuh," katanya.
Selain itu, sistim tabela tidak ada stagnasi sehingga pertumbuhannya tanaman padi sangat cepat, sedangkan cara tradisional benih harus dicabut lebih dulu, baru ditanam sehingga pertumbuhannya bisa terhambat.
Masa panen tabela lebih singkat misalnya, masa panen varitas padi Membaramo memerlukan waktu antara 110- 115 hari, tetapi sistim tabela hanya umur 90 hari sudah bisa panen.
"Pemakaian benih lebih hemat yakni sekitar 15 kilogram per hektare. Cara tradisional bisa butuh benih 30 kilogram per hektare hingga 40 kilogram per hektare," katanya.
Kendati demikian, sistem tabela juga memiliki kekurangan, antara lain lahan kering dapat menyatu dengan rumput atau gulma, jatuhnya benih tidak bisa sama.
"Sistim tabela pertumbuhan benih bersaing dengan pertumbuhan rumput, karena pada pekan pertama lahan dikeringkan, yang memacu pertumbuhan rumput atau gulma," katanya.
Sumber :
ANT
Kirim Komentar Anda
Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait artikel yang
ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun
kebijakan KOMPAS.com dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.
Pembaca dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. KOMPAS.com akan menimbang setiap laporan yang masuk dan dapat memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
KOMPAS.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
Pembaca dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. KOMPAS.com akan menimbang setiap laporan yang masuk dan dapat memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
KOMPAS.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
Ayo
Ikuti kuis seputar AIA dan temukan jawabannya di setiap artikel
bertanda khusus untuk menangkan hadiah menarik bagi yang beruntung!
About Kompas.com |
Advertise With Us |
Info iklan |
Privacy policy |
Terms of use |
Karir |
Contact Us |
KOMPAS.com for IE9 |
KOMPAS.com Toolbar
© 2008 - 2011 KOMPAS.com - All rights reserved