Selama
tiga bulan terakhir ini (Januari, Februari dan Maret) tomat seakan-akan
menghilang dari pasar. Kalau pun ada, harganya melambung tinggi sampai
Rp 5.000,- per kg. di tingkat grosir di pasar induk Kramat Jati,
Jakarta. Sementara di tingkat konsumen, di pedagang sayur keliling di
DKI, tomat terpaksa dijual butiran. Ukuran sedang (1 kg. isi 8) seharga
Rp 1.000,- per butir. Yang kecil (1 kg. isi 14) Rp 500,- per butir.
Hingga harga tomat di tingkat konsumen di DKI sudah sekitar Rp 7.000,-
sd. Rp 8.000,- per kg. Meskipun akhir-akhir ini harga cabai juga
melambung tinggi, namun komoditas ini tidak pernah menghilang dari
pasar. Saat ini, tomat yang ada di pasar, selain harganya tinggi,
kualitasnya juga jelek. Selama ini, tomat yang paling banyak
dibudidayakan di Indonesia merupakan varietas keriting (Lycopersicum
validum) yang oleh masyarakat disebut sebagai tomat gondol.
Varietas
dataran tinggi ini disenangi karena bentuknya lonjong, daging buahnya
tebal, bijinya sedikit dan tahan benturan hingga bisa diangkut jarak
jauh tanpa mengalami banyak kerusakan. Selain tomat gondol, yang juga
banyak dibudidayakan petani adalah tomat apel (Lycopersicum pyriforme).
Disebut demikian karena bentuk buahnya yang mirip dengan buah apel. Sama
dengan tomat gondol, budidaya tomat apel juga selalu di dataran tinggi
di atas 1000 m. dpl. Misalnya di Cipanas (kab. Cianjur), Selabintana
(Kab. Sukabumi) dan Lembang (kab. Bandung). Bertanam tomat gondol dan
apel di dataran tinggi pada musim penghujan resikonya sangat tinggi.
Karenanya, hanya sedikit petani yang berani menanam tomat. Yang mereka
budidayakan kebanyakan sayuran dengan resiko rendah seperti bawang daun,
seledri dan wortel.
Selain tomat gondol dan apel, sebenarnya
masih ada tomat cery yang kecil-kecil namun dompolannya berisi banyak
buah, yang sering pula disebut sebagai tomat ranti (Lycopersicum
pimpinellifolium). Beda dengan tomat gondol dan apel yang hanya cocok
dibudidayakan di dataran tinggi, tomat cery toleran untuk dibudidayakan
di dataran menengah sampai rendah. Penanaman tomat cery di pinggir
pantai, ternyata tetap berhasil baik sama dengan di dataran menengah
sampai tinggi. Bahkan tanaman mampu berbuah lebih awal. Sebelum tahun
1970an, tomat ranti hanyalah tumbuhan liar di pinggiran ladang. Tidak
ada petani yang membudidayakannya. Sekarang pun, tomat jenis ini hanya
dibudidayakan secara terbatas dengan konsumen yang terbatas pula.
Sebenarnya, masih ada satu jenis tomat lagi, yang oleh masyarakat sering
disebut sebagai tomat sayur (Lycopersicum commune). Kalau tomat apel
berukuran sedang, 1 kg. isi 8 sd. 14 buah, maka tomat sayur berukuran
besar, 1 kg. isi 6 sd. 10 buah.
Kalau bentuk buah tomat gondol
dan apel cenderung memanjang (lonjong), maka tomat sayur berbentuk agak
pipih (gepeng). Permukaan kulit tomat sayur tidak rata dan
berbenjol-benjol sesuai dengan segmen rongga bijinya. Daging buah tomat
sayur tipis sementara bijinya banyak. Kelebihan tomat sayur adalah cocok
dibudidayakan di dataran rendah sampai menengah antara 0 sd. 800 m. dpl
dengan hasil yang sangat baik. Jenis tomat ini juga relatif tahan
terhadap serangan penyakit cendawan fusarium dan bakteri pseudomonas.
Hingga patani berani membudidayakannya pada musim penghujan di ladang.
Tomat jenis ini paling banyak dibudidayakan di kab. Magelang dan
Semarang di Jawa tengah. Namun areal budidayanya sangat terbatas hingga
volume produksinya juga kecil. Tomat jenis ini hanya dipasarkan dan
dikonsumsi oleh masyarakat Jawa Tengah dan jarang sekali bisa masuk
pasar DKI.
Para petani tomat sayur di Jawa Tengah, selalu
memproduksi benih sendiri. Mereka memilih buah yang paling besar, dengan
bentuk yang sempurna dan dipelihara sampai benar-benar masak. Tomat
bakal benih ini setelah dipetik segera dibelah dan diambil bijinya. Biji
tersebut diremas-remas menggunakan tangan lalu dioleskan pada daun waru
dan diratakan. Daun waru beroleskan benih tersebut selanjutnya
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan (digantung) di tempat teduh.
Setelah biji tomat kering, segera diambil dan dikumpulkan dalam tampah
untuk dijemur sampai benar-benar kering. Kalau benih itu akan ditanam
tahun depan, maka petani menyimpannya dalam botol berwarna, menutupnya
dengan tongkol jagung dan menaruhnya di para-para di atas tungku. Dengan
penyimpanan demikian, maka benih produksi sendiri tersebut tahan
disimpan selama 1 tahun dengan daya tumbuh masih cukup baik.
Para
petani tomat sayur di Jawa Tengah, relatif bisa bersaing dalam biaya
produksi, karena mereka tidak membeli benih. Benih tomat produksi
penangkar lokal, yang terkenal, harganya sekitar Rp 175.000,- per 0,1
kg. (1 ons). Kebutuhan benih untuk satu hektar lahan sekitar 0,75 sd.
0,1 kg. Sementara benih impor harganya mencapai Rp 450.000,- per 0,1 kg.
Populasi tanaman biasanya antara 16.000 sd. 25.000 per hektar. Besarnya
biaya kebutuhan benih inilah antara lain yang mengakibatkan petani agak
malas untuk membudidayakan tomat pada musim penghujan. Tomat apel benih
lokal maupun impor, juga sangat peka terhadap fusarium dan pseudomonas
kalau dibudidayakan pada musim penghujan. Untuk itu diperlukan sungkup
plastik bening atau pestisida (fungisida dan bakterisida) dengan dosis
tinggi. Nilai biaya pestisida maupun plastik bening untuk sungkup,
sudah sekitar Rp 3.000.000,- per hektar per musim tanam. Karenanya,
petani lebih memilih untuk tidak mengambil resiko membudidayakan tomat
pada musim penghujan.
Sebaliknya, tomat sayur yang dibudidayakan
pada musim hujan di ladang-ladang dataran menengah, sama sekali tidak
memerlukan sungkup plastik dan pestisida. Namun tingkat
produktivitasnya lebih rendah. Kalau tomat apel di dataran tinggi mampu
berproduksi sekitar 3 kg. per tanaman, maka tomat sayur hanya sekitar 2
kg. per tanaman. Kalau populasi tomat apel 25.000 tanaman per hektar
maka hasilnya mencapai 75 ton per hektar per musim tanam. Sementara
tomat sayur, dengan populasi 16.000 per hektar hasilnya hanya 32 ton per
hektar. Namun karena tidak memerlukan biaya benih dan pestisida atau
sungkup plastik, sebenarnya keuntungan petani tomat sayur di dataran
menengah masih relatih cukup baik. Modal petani tomat sayur, per hektar
per musim tanam hanya sekitar Rp 8.000.000,- per hektar per musim tanam.
Meskipun tidak memerlukan sungkup dan pestisida, tomat sayur tetap
harus diberi ajir (kayu sebagai panjatan).
Modal untuk bertanam
tomat apel di dataran tinggi, paling sekikit sudah mencapai Rp
15.000.000,- per hektar per musim tanam. Hingga biaya produksi tomat
apel di dataran tinggi rata-rata Rp 200,- per kg. Dengan hasil 32 ton
per hektar dan biaya Rp 8.000.000,- maka biaya produksi tomat sayur Rp
250,- lebih tinggi Rp 50,- dibanding tomat gondol/tomat apel. Tetapi
dalam prektek, petani kita sangat sulit untuk mencapai standar produksi
tomat sayur 30 ton dan tomat gondol/apel 75 ton per hektar per musim
tanam. Rata-rata produksi tomat sayur hanya sekitar 20 ton dan tomat
gondol/apel hanya sekitar 40 ton. Penyebabnya adalah faktor degradasi
benih, dosis pemupukan yang rendah dan penggunaan pestisida yang minim
sekali. Karenanya biaya produksi tomat di kalangan petani kita bisa
mencapai sekitar Rp 700,- per kg. Pada musim penghujan, biaya per kg.
bisa lebih dari Rp 1.000,- karena tingginya mortalitas dan tingkat
kerusakan buah. Inilah yang menyebabkan para petani menjadi malas untuk
membudidayakan tomat pada musim penghujan.
Selain penyakit akibat
serangan pseudomonas dan fusarium, yang akan mengganggu tomat pada musim
penghujan adalah busuk daun akibat phytophtora, virus keriting dan
mozaik, nematoda (cacing akar), hama ulat buah dan siput. Dalam kondisi
krisis ekonomi seperti sekarang ini, petani seperti menghadapi buah
simalakama. Untuk menanggulangi berbagai hama dan penyakit tomat, mereka
memerlukan modal cukup banyak. Meskipun harga yang akan mereka terima
juga cukup baik, namun bank dan lembaga keuangan lain masih belum siap
untuk mendanai kegiatan pertanian di Indonesia. Padahal kalau empat
petani didanai Rp 20.000.000,- per hektar atau Rp 5.000.000,- per
petani, maka mereka akan mempu menghasilkan paling sedikit 50 ton tomat
selama satu musim tanam. Biaya per kg. hanya Rp 400,- Kalau volume panen
normal, petani memang sulit untuk menjual tomat mereka seharga Rp
3.000,- per kg. di kebun. Paling tinggi hanya Rp 1.000,- per kg.
Dengan
harga Rp 1.000,- di kebun pun, keuntungan petani sudah mencapai 150%
dari modal dalam jangka waktu hanya 6 bulan. Hingga sebenarnya kredit
dengan suku bunga komersial 18% per tahun pun masih sangat ringan. Dalam
kondisi seperti sekarang ini, baik petani, konsumen maupun lembaga
perbankan sangat dirugikan. Petani terpaksa hanya menanam wortel,
caisim, seledri dll. yang nyaris tanpa biaya dan resiko. Tetapi margin
yang mereka peroleh juga sangat rendah. Apabila pemerintah, lembaga
perbankan dan organisasi petani bersedia membangun sebuah sistem, maka
pada musim penghujan semua pihak akan diuntungkan. Konsumen diuntungkan
karena tomat tetap tersedia di pasar dengan harga wajar. Harga Rp
2.000,- sd. Rp 3.000,- per kg. di tingkat konsumen masih sangat wajar.
Petani juga diuntungkan karena keuntungan 150% per 0,5 tahun relatif
sangat tinggi. Bank juga mendapat keuntungan karena uang yang
dipasarkannya laku untuk kegiatan produktiv.
Sistem seperti itu,
sampai sekarang belum ada. Direktorat Tanaman Sayuran, Direktorat
Jenderal Bina Produksi Hortikultura Deptan misalnya, sama sekali belum
memiliki database petani sayur. Beda dengan di Malaysia dan Thailand
yang sama-sama negara berkembang. Mereka sudah punya database petani
sayur. Hingga pada musim penghujan produksi tetap jalan, sementara pada
musim kemarau areal tanam juga terkendalikan. Karenanya di Thailand dan
Malaysia, jarang sekali terjadi gejolak harga tomat yang terlalu tajam.
Di negeri kita, pada setiap musim kemarau, harga tomat di tingkat petani
bisa jatuh hanya Rp 300,- per kg. Pada saat itu, di terminal bus dan
kakilima di DKI, tomat dengan kualitas sangat baik diobral seharga Rp
1.000,- per kg. atau per butir di bawah Rp 100,- Padahal saat ini, tomat
dengan kualitas lebih jelek, dengan harga per butir Rp 1.000,- bisa
menjadi rebutan di tukang sayur. Entah sampai kapan kondisi seperti ini
akan terjadi di negeri kita.