Senin, Desember 5

BERTANAM CABE KERITING KOPAY

0 komentar

Sebuah kebetulan ketika Syahrul Yondri (43) menemukan cabai merah keriting yang panjangnya sampai 35 sentimeter tahun 2005. Sebagai petani yang gemar meneliti, dia sesungguhnya tengah bereksperimen untuk menemukan cara mengatasi virus kuning.Dorongan untuk mendapatkan cara mengatasi virus kuning berawal ketika Yon, panggilan Syahrul Yondri, gagal panen sampai tiga kali. Setelah mengalami kerugian Rp 20 juta akibat virus kuning, petani cabai di Kelurahan Koto Panjang Lampasi, Kecamatan Payakumbuh Utara, Sumatera Barat, ini menghabiskan waktu lima tahun bereksperimen untuk mendapatkan cara menanggulangi virus yang mematikan tanaman cabai itu.
Dari sejarah, Yon menemukan petunjuk model penanaman zaman nenek moyang. Petani zaman dulu menanam cabai di lahan yang dikelilingi kolam karena tanaman menjadi lebih kuat menghadapi penyakit. Yon pernah mencoba cara itu, dan memang ada peningkatan ketahanan tanaman.
”Prinsipnya, virus itu tak tahan terkena panas yang kuat. Biasanya, virus bersembunyi di bagian bawah daun. Air berfungsi memantulkan cahaya sehingga panas matahari memantul dan mengenai bagian bawah daun,” kata Yon yang juga menjadi Ketua Kelompok Tani Tunas Baru.
Akan tetapi, dia belum puas dengan hasil itu. Dicobanya memakai cermin yang diletakkan di tanah, tepat di bawah tanaman. Hasilnya bukan saja menghambat perilaku mematikan virus itu, tetapi juga membuat proses pemasakan tanaman lebih baik. Dari sinilah Yon memanen buah cabai yang lebih panjang dibandingkan cabai pada umumnya.
Perkembangan selanjutnya, fungsi kaca diganti plastik mulsa yang diberi cat perak. Dengan demikian, pemantulan cahaya tetap terjadi sehingga virus yang biasa tinggal di bagian bawah daun terbunuh pula.
Dari sisi perawatan tanaman, petani juga tak repot mengurus karena tanaman cabai kopay juga lebih tahan terhadap serangan virus kuning.
”Memang daun tanaman masih tetap kuning, tetapi tanaman tetap berbuah dan buahnya masih tetap baik,” tutur Yon yang akan melakukan serangkaian penelitian lanjutan untuk melemahkan serangan virus agar daun tanaman tidak menguning.
Buah terpanjang
Ketika pertama kali memperoleh buah cabai yang berukuran lebih panjang, dia lalu berpikir untuk melakukan penyempurnaan buah. Dari panen pertama dipilihnya buah terpanjang untuk dikembangbiakkan lagi.
Pada panen kedua, dia juga kembali memilih satu buah cabai yang paling unggul. Biji buah disemaikan lagi sehingga menghasilkan buah dengan kualitas yang semakin baik. Panjang cabai berkisar 30-33 sentimeter, bahkan pernah mencapai 40 cm. Padahal, cabai biasa rata-rata hanya 20 cm.
Sejumlah 20 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Tunas Muda dan puluhan petani lain di Koto Panjang Lampasi juga senang menanam cabai ini. Itu bukan semata-mata karena ukurannya yang lebih besar dibandingkan cabai biasa atau karena pohon cabai bisa setinggi satu meter, tetapi karena hasil panen yang lebih banyak.
Setiap batang cabai kopay mampu menghasilkan sekitar 1,4 kilogram per masa tanam, sedangkan tanaman cabai pada umumnya memproduksi enam ons saja. Pada usia 90 hari, petani mulai memanen cabai untuk pertama kali.
Petani juga gembira karena harga jual cabai kopay jauh di atas rata-rata. Ketika harga cabai di Sumatera Barat berkisar Rp 14.000 per kg, cabai kopay sudah menembus Rp 22.000. Harga termurah cabai kopay Rp 15.000 per kg, tetapi itu terjadi sekali saja dan bertahan hanya seminggu. Umumnya harga cabai kopay berkisar Rp 20.000 per kg.
Meski harga cabai kopay tinggi, rasa cabai yang pedas tetapi tidak melilit dan lebih awet dibandingkan dengan cabai biasa ini membuat cabai kopay diperdagangkan sampai ke Provinsi Riau.
Sayangnya, permintaan mengirim dua ton cabai per hari untuk seorang pedagang saja belum sanggup dipenuhi petani di Koto Panjang Lampasi. Sebab, produksi petani baru mencapai dua ton per minggu.
Begitu menggiurkannya prospek menanam cabai kopay, sampai-sampai pemuda di sekitar tempat tinggal Yon pun mulai ikut bertanam cabai.
”Para pemuda itu dulu hanya duduk-duduk di kedai kopi saja karena mereka tak punya pekerjaan. Tapi begitu melihat prospek cabai kopay, mereka mulai menggarap lahan milik keluarga atau menyewa lahan,” ucap Yon yang telah membeli tanah, rumah, dan mobil dari hasil menjual cabai.
Tak mau terkenal
Sebagai pencinta tanaman cabai, Yon masih menyimpan sejumlah pekerjaan rumah, seperti meneliti cara pertanian organik yang sepenuhnya bebas dari produk pabrik. Yon sadar bahwa menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan petani tak bisa digantungkan pada orang lain. Petanilah yang paling mengerti kondisi dunia pertanian.
”Penyuluh lapangan itu pun belum tentu pernah menanam cabai. Teori juga belum tentu bisa diterapkan di lapangan,” kata Yon.
Dia pun tak risau ketika Wali Kota Payakumbuh Josrizal memberikan nama kopay untuk cabai tersebut, bukan nama Yon sebagai penemunya. Kopay merupakan akronim dari ”Kota Payakumbuh-Yon”.
”Ah, biarlah nama itu, yang penting saya tetap bisa mencari cara agar pertanian ini dapat meningkatkan kesejahteraan petani,” ucapnya.
Cabai kopay yang menjadi kebanggaan Kota Payakumbuh tengah dalam proses sertifikasi, agar produk ini tidak diklaim oleh pihak lain. Yon sebenarnya ingin agar cabai kopay bisa ditanam di banyak daerah, sejauh itu dapat menambah penghasilan petani.
Di tengah keberhasilan yang dipetiknya, Yon tetap sederhana. Sehari-hari dia suka mengenakan kaus dan bersandal jepit. Dia bahkan merasa risi ketika namanya mulai dikenal sehingga banyak tamu yang datang ke kampungnya.
”Kalau banyak tamu, waktu saya untuk bereksperimen makin terbatas. Kapan bisa menyelesaikan pekerjaan rumah, ha-ha-ha…,” kata Yon yang memutuskan tidak punya telepon seluler ini.
Alumnus SPG, Berjaya di Ladang
Menjadi petani cabai adalah profesi kesekian yang dilakoni tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Payakumbuh ini. Setelah mengajar selama sebulan di SD Negeri Koto Nan Gadang, suami Yulismar itu menjadi montir alat elektronik sekitar enam tahun.
Setelah itu, pria kelahiran Payakumbuh, 30 Juli 1965, ini beralih menjadi tukang bangunan seperti yang dilakukan ayahnya.
Setelah sembilan tahun menjadi tukang, ayah dari Siska Sri Indah Mulia itu mencoba bertanam. Ketika itu, seorang kawan menganjurkan Yon menanam cabai sebab komoditas ini menjanjikan hasil ketimbang menanam padi.
Awalnya Yon mencoba di lahan 1.000 meter persegi yang disewanya seharga Rp 150.000 per masa tanam cabai. Ia mulai menjadi petani. Masa itu, selain bertani, dia juga masih menerima tawaran bekerja sebagai buruh bangunan.
Lama kelamaan, Yon lebih tertarik kepada tanaman yang memberinya pendapatan sekaligus tantangan itu. Penelitian cara memberantas virus kuning menjadi salah satu wujud kecintaannya kepada dunia pertanian.
Petani yang sukses mungkin syaratnya adalah petani yang gemar meneliti, seperti yang dilakukan oleh Syahrul Yondri (43), yang menemukan cabai merah keriting yang panjangnya sampai 35 cm pada tahun 2005. Penemuan itu adalah hasil sampingan, karena sebenarnya Yon–sapaan Syahrul–bermaksud menemukan cara untuk mengatasi virus kuning.
Dorongan untuk meneliti juga karena alasan yang memaksa: ia telah kelihangan uang puluhan juta dan gagal panen berulang kali. Ia menghabiskan waktu cukup panjang untuk penelitian itu, yaitu lima tahun, namun hasilnya sepadan, kalau tidak bisa dikatakan memuaskan.
Kini para petani di daerahnya di Kelurahan Koto Panjang Lampasi, Kecamatan Payakumbuh Utara, Sumatera Barat, senang menggunakan bibit cabai Kopay temuan Yon yang memiliki harga jual di atas rata-rata. Penjualan petani pun merambah hingga ke provinsi tetangga, Riau. Mereka bahkan tidak dapat memenuhi order dua ton per hari. Para pemuda pun mulai ikut bertanam cabai, dari sebelumnya menjadi penganggur. Yon juga bisa membeli tanah, rumah dan mobil dari berjualan cabai.
Yon, Sederhana di Tengah Pohon Cabai Kopay Agnes Rita Sulistyawaty Sebuah kebetulan ketika Syahrul Yondri (43) menemukan cabai merah keriting yang panjangnya sampai 35 sentimeter tahun 2005. Sebagai petani yang gemar meneliti, dia sesungguhnya tengah bereksperimen untuk menemukan cara mengatasi virus kuning. Dorongan untuk mendapatkan cara mengatasi virus kuning berawal ketika Yon, panggilan Syahrul Yondri, gagal panen sampai tiga kali. Setelah mengalami kerugian Rp 20 juta akibat virus kuning, petani cabai di Kelurahan Koto Panjang Lampasi, Kecamatan Payakumbuh Utara, Sumatera Barat, ini menghabiskan waktu lima tahun bereksperimen untuk mendapatkan cara menanggulangi virus yang mematikan tanaman cabai itu. Dari sejarah, Yon menemukan petunjuk model penanaman zaman nenek moyang. Petani zaman dulu menanam cabai di lahan yang dikelilingi kolam karena tanaman menjadi lebih kuat menghadapi penyakit. Yon pernah mencoba cara itu, dan memang ada peningkatan ketahanan tanaman. ”Prinsipnya, virus itu tak tahan terkena panas yang kuat. Biasanya, virus bersembunyi di bagian bawah daun. Air berfungsi memantulkan cahaya sehingga panas matahari memantul dan mengenai bagian bawah daun,” kata Yon yang juga menjadi Ketua Kelompok Tani Tunas Baru. Akan tetapi, dia belum puas dengan hasil itu. Dicobanya memakai cermin yang diletakkan di tanah, tepat di bawah tanaman. Hasilnya bukan saja menghambat perilaku mematikan virus itu, tetapi juga membuat proses pemasakan tanaman lebih baik. Dari sinilah Yon memanen buah cabai yang lebih panjang dibandingkan cabai pada umumnya. Perkembangan selanjutnya, fungsi kaca diganti plastik mulsa yang diberi cat perak. Dengan demikian, pemantulan cahaya tetap terjadi sehingga virus yang biasa tinggal di bagian bawah daun terbunuh pula. Dari sisi perawatan tanaman, petani juga tak repot mengurus karena tanaman cabai kopay juga lebih tahan terhadap serangan virus kuning. ”Memang daun tanaman masih tetap kuning, tetapi tanaman tetap berbuah dan buahnya masih tetap baik,” tutur Yon yang akan melakukan serangkaian penelitian lanjutan untuk melemahkan serangan virus agar daun tanaman tidak menguning. Buah terpanjang Ketika pertama kali memperoleh buah cabai yang berukuran lebih panjang, dia lalu berpikir untuk melakukan penyempurnaan buah. Dari panen pertama dipilihnya buah terpanjang untuk dikembangbiakkan lagi. Pada panen kedua, dia juga kembali memilih satu buah cabai yang paling unggul. Biji buah disemaikan lagi sehingga menghasilkan buah dengan kualitas yang semakin baik. Panjang cabai berkisar 30-33 sentimeter, bahkan pernah mencapai 40 cm. Padahal, cabai biasa rata-rata hanya 20 cm. Sejumlah 20 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Tunas Muda dan puluhan petani lain di Koto Panjang Lampasi juga senang menanam cabai ini. Itu bukan semata-mata karena ukurannya yang lebih besar dibandingkan cabai biasa atau karena pohon cabai bisa setinggi satu meter, tetapi karena hasil panen yang lebih banyak. Setiap batang cabai kopay mampu menghasilkan sekitar 1,4 kilogram per masa tanam, sedangkan tanaman cabai pada umumnya memproduksi enam ons saja. Pada usia 90 hari, petani mulai memanen cabai untuk pertama kali. Petani juga gembira karena harga jual cabai kopay jauh di atas rata-rata. Ketika harga cabai di Sumatera Barat berkisar Rp 14.000 per kg, cabai kopay sudah menembus Rp 22.000. Harga termurah cabai kopay Rp 15.000 per kg, tetapi itu terjadi sekali saja dan bertahan hanya seminggu. Umumnya harga cabai kopay berkisar Rp 20.000 per kg. Meski harga cabai kopay tinggi, rasa cabai yang pedas tetapi tidak melilit dan lebih awet dibandingkan dengan cabai biasa ini membuat cabai kopay diperdagangkan sampai ke Provinsi Riau. Sayangnya, permintaan mengirim dua ton cabai per hari untuk seorang pedagang saja belum sanggup dipenuhi petani di Koto Panjang Lampasi. Sebab, produksi petani baru mencapai dua ton per minggu. Begitu menggiurkannya prospek menanam cabai kopay, sampai-sampai pemuda di sekitar tempat tinggal Yon pun mulai ikut bertanam cabai. ”Para pemuda itu dulu hanya duduk-duduk di kedai kopi saja karena mereka tak punya pekerjaan. Tapi begitu melihat prospek cabai kopay, mereka mulai menggarap lahan milik keluarga atau menyewa lahan,” ucap Yon yang telah membeli tanah, rumah, dan mobil dari hasil menjual cabai. Tak mau terkenal Sebagai pencinta tanaman cabai, Yon masih menyimpan sejumlah pekerjaan rumah, seperti meneliti cara pertanian organik yang sepenuhnya bebas dari produk pabrik. Yon sadar bahwa menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan petani tak bisa digantungkan pada orang lain. Petanilah yang paling mengerti kondisi dunia pertanian. ”Penyuluh lapangan itu pun belum tentu pernah menanam cabai. Teori juga belum tentu bisa diterapkan di lapangan,” kata Yon. Dia pun tak risau ketika Wali Kota Payakumbuh Josrizal memberikan nama kopay untuk cabai tersebut, bukan nama Yon sebagai penemunya. Kopay merupakan akronim dari ”Kota Payakumbuh-Yon”. ”Ah, biarlah nama itu, yang penting saya tetap bisa mencari cara agar pertanian ini dapat meningkatkan kesejahteraan petani,” ucapnya. Cabai kopay yang menjadi kebanggaan Kota Payakumbuh tengah dalam proses sertifikasi, agar produk ini tidak diklaim oleh pihak lain. Yon sebenarnya ingin agar cabai kopay bisa ditanam di banyak daerah, sejauh itu dapat menambah penghasilan petani. Di tengah keberhasilan yang dipetiknya, Yon tetap sederhana. Sehari-hari dia suka mengenakan kaus dan bersandal jepit. Dia bahkan merasa risi ketika namanya mulai dikenal sehingga banyak tamu yang datang ke kampungnya. ”Kalau banyak tamu, waktu saya untuk bereksperimen makin terbatas. Kapan bisa menyelesaikan pekerjaan rumah, ha-ha-ha…,” kata Yon yang memutuskan tidak punya telepon seluler ini. Alumnus SPG, Berjaya di Ladang Menjadi petani cabai adalah profesi kesekian yang dilakoni tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Payakumbuh ini. Setelah mengajar selama sebulan di SD Negeri Koto Nan Gadang, suami Yulismar itu menjadi montir alat elektronik sekitar enam tahun. Setelah itu, pria kelahiran Payakumbuh, 30 Juli 1965, ini beralih menjadi tukang bangunan seperti yang dilakukan ayahnya. Setelah sembilan tahun menjadi tukang, ayah dari Siska Sri Indah Mulia itu mencoba bertanam. Ketika itu, seorang kawan menganjurkan Yon menanam cabai sebab komoditas ini menjanjikan hasil ketimbang menanam padi. Awalnya Yon mencoba di lahan 1.000 meter persegi yang disewanya seharga Rp 150.000 per masa tanam cabai. Ia mulai menjadi petani. Masa itu, selain bertani, dia juga masih menerima tawaran bekerja sebagai buruh bangunan. Lama kelamaan, Yon lebih tertarik kepada tanaman yang memberinya pendapatan sekaligus tantangan itu. Penelitian cara memberantas virus kuning menjadi salah satu wujud kecintaannya kepada dunia pertanian. (ART) Sumber: Kompas

Leave a Reply

rEsEnt Post gUe..