DI ATAS sepetak lahan kecil di tengah ladangnya yang luas pada 2005, Syahrul Yondri, 43 tahun, petani cabe di Kelurahan Koto Panjang, Kenagarian Lampasi, Payakumbuh menanam 150 batang cabe merah keriting.
Biasanya di ladangnya yang luasnya 2 hektare, ia menanam lebih seribu rumpun cabe. Namun panen cabenya baru saja digagalkan virus kuning yang dibawa serangga mirip kupu-kupu yang diberi nama virus kutu kebo.
Seluruh daun cabenya menguning dan tidak sempat berbuah. Bukan cabenya saja yang terkena, tetapi juga cabe-cabe milik petani di Limpasi, hampir semuanya gagal panen.
Apalagi virus kutu kebo tersebut tahan berbagai pestisida yang disemprotkan petani.
Akhirnya Syahrul berinisiatif melakukan penelitian kecil-kecilan mencari cara menyingkirkan virus yang dibawa si kutu kebo. Ia mulai mempersiapkan lahan untuk ditanami cabe untuk sarana penelitiannya. Ia menanam 150 cabe keriting lokal.
“Saat cabe saya diserang, saya amati, hama kutu kebo itu sepertinya tidak tahan panas matahari, kalau cahaya matahari sedang terik, dia berlindung di bawah daun, makanya saya membuat cara agar hama di balik daun itu kena cahaya,” katanya.
Yon memulai percobaannya. Di bawah rumpun cabe yang baru tumbuh, ia meletakkan pecahan cermin serta aluminium foil bekas makanan kecil. Ternyata lumayan berhasil. Hama kutu kebo mulai enggan hinggap, selama tiga bulan, lebih separuh cabe bebas dari kutu kebo dan bisa menghasilkan buah.
“Sepanjang hari saya amati pertumbuhannya, banyak juga orang kampung yang mengatakan saya sedang stres, kehilangan akal, karena hampir setiap hari bermenung di depan rumpun cabe,” kata Yon.
Melihat ada hasilnya, Yon memutar otak mencari cara mengganti cermin dan aluminium foil bekas bungkus makanan kecil untuk memantulkan cahaya agar lebih praktis. Akhirnya pilihan jatuh ke plastik mulsa perak yang biasa digunakan petani saat bertanam untuk melindungi tanaman dari gulma.
Karena mulsa kurang banyak memantulkan cahaya, Yon mengecat plastik mulsa dengan warna perak, lalu ia menanam cabe lagi, menggunakan pupuk kompos dan menutup bedengan tanah dengan mulsa.
Hama makin jauh berkurang, bahkan cabenya jauh lebih subur. “Ada yang panjangnya 22 cm, lebih panjang dari biasanya yang hanya 17 cm,” kata Yon.
Ia lalu memilih bibit cabe yang unggul dan paling panjang, lalu mulai menyemainya kembali.
Ia kembali bertanam cabe dengan menggunakan mulsa, lalu mulai menambah pupuk kompos dua kali lebih banyak dari biasa. Biasanya satu rumpun menggunakan 1 kilogram kompos, kini ia tambahkan menjadi 2 kilogram per batang cabe.
Cabenya subur dan hama kutu kebo tidak ada lagi, begitu juga hama lainnya. Hasilnya cabenya semakin panjang, bahkan ada dua batang cabe yang memiliki buah yang panjangnya hingga 35 cm. Salah satu batang cabe berdahan pendek sehingga buahnya menjuntai ke tanah, dan satunya lagi lebih tinggi dan panjang buah tetap sama.
Yon memilih mengembangkan bibit cabe dari batang yang tinggi, agar buahnya nanti tidak busuk karena menyentuh tanah.
Tiga Kali Percobaan
Akhirnya setelah tiga kali percobaan, Yon kembali menanami ladang cabenya seperti semula. Dari 1 kilogram bibit cabe unggul yang telah dipilihnya, ia mendapatkan bibit 1.200 batang cabe. Lalu Yon mulai bertanam seperti perlakuan pada penelitiannya, diberi kompos 2 kilogram tiap tanaman dan ditutup mulsa.
Hasilnya, tiga bulan kemudian buah cabe yang muncul panjang-panjang, bahkan pada musim panen minggu pertama ada yang panjangnya 40 cm. Rata-rata panjangnya 25 cm hingga 35 cm. Ia menikmati masa panen selama 27 kali panen atau 14 minggu. Sebatang cabe bisa mengasilkan 1,4 kilogram cabe.
Yon jelas lebih beruntung dibandingkan cabe keriting biasa. Dulu ia hanya bisa panen selama 9 minggu atau 17 kali panen dengan hasil 4-7 ons cabe per batang.
“Buah cabe dalam sebatang itu sama, tetapi yang menguntungkan itu kan karena cabenya lebih panjang, jadi lebih berat, 1 kilogram cabe keriting biasa 260 buah sedangkan 1 kg cabe kopay berjumlah 90-110 buah cabe,” kata Yon.
Cabenya langsung disambut pasar dengan harga lebih tinggi. Cabe keriting biasa saat itu Rp18 ribu per kilogram, cabe kopay milik Yon dihargai Rp24 ribu per kilogram, semua dibeli untuk pemasaran ke Pekanbaru.
“Mungkin orang mau beli karena bentuknya aneh, ada cabe keriting kok panjang, selain itu cabenya juga lebih tahan terhadap suhu ruang, bisa seminggu tidak busuk, kalau cabe biasa hanya tahan 3 hari,” katanya.
Ia saat itu berhasil panen cabe 1,3 ton dan meraup untung Rp40 juta. Uang tersebut digunakannya untuk membeli lahan seluas 1.700 meter untuk tempat mendirikan rumah dan ladang cabenya. Sebelumnya ia menyewa lahan.
Namun kesuksesan Yon masih belum dipercayai petani di kampungnya.
“Banyak yang mengatakan itu hanya kebetulan, bahkan mereka menolak bibit yang saya berikan,” kata Yon.
Yon lalu mulai bertanam lagi, kali ini 1.600 batang, namun ia terus memilih bibit dari cabe yang paling unggul. Panen kedua, cabenya tetap panjang-panjang dan ia meraup untung Rp45 juta dari hasil cabe 2,4 ton. Ada yang mulai percaya kepada Yon. Seorang petani minta bibit darinya dan dibimbing Yon saat bertanam. Hasilnya bagus.
“Sejak melihat panen saya berhasil, orang-orang mulai tertarik dan percaya, lalu ramai-ramai menanam cabe dari bibit saya,” kata Yon yang juga Ketua Kelompok Tani Tunas Maju di kampungnya.
Yon juga setia menggunakan pupuk organik. Pupuk organik ini dibuatnya sendiri dengan mencampurkan jerami padi, kotoran sapi, dan trikoderma. Untuk 2 hektar lahannya ia membutuhkan 50 ton pupuk kompos.
“Saat ini saya juga menjual bibit bersama kelompok tani, harganya Rp75 ribu per kilogram, bibit ini dipilih dari cabe terbaik dan sejah tahun lalu mulai ditanam petani-petani di Sumatera Barat, kalau cabenya tetap dipasarkan ke Riau,” katanya.
Nama cabe kopay diberikan Wali Kota Payakumbuh Josrizal Zain agar diakui sebagai varietas lokal asli dari Payakumbuh.
Saat ini cabe Kopay telah mendapat sertifikat dari Balai Pemurnian dan Sertifikasi Benih Kantor Pusat Perlindungan Varietas Tanaman Departemen Pertanian. Oktober 2008, rencananya akan diseminarkan dan akan diluncurkan sebagai varietas baru.
Syahrul saat ini sudah hidup lumayan di kampungnya. Punya lahan yang luas, rumah permanen tipe 150 meter persegi, dan sebuah mobil Suzuki Carry. Pria kelahiran 1965 ini tinggal bersama istrinya, Yulismar, dan anak gadisnya, Siska Sri Indah Mulia.
Kini selain bernama cabe, ia juga menjual bibit cabe. Keseharianya kini disibukkan melayani tamu dari kelompok tani berbagai daerah di Sumatera Barat yang datang hamir setiap hari membeli bibit dan minta diajarkan bertanam cabe kopay.
“Ini juga ditangani kelompok tani kami, karena menyita waktu, kini kami kenai bayaran Rp350 ribu per hari untuk satu kelompok tani, karena sekarang waktu saya habis untuk itu, tidak sempat lagi mengurus cabe sehingga saya harus punya anak buah untuk membantui mengurus cabe,” katanya.
Syahrul berharap petani lain bisa merasakan bagaimanan senangnya jadi petani.
“Sebab selama ini penilaian orang derajat petani terlalu rendah, dengan kopay, ekonomi naik, sehingga petani disegani orang, agar orang tidak berpacu lagi menjadi pegawai negeri, petani juga bisa hidup senang seperti orang lain,” katanya.
Yon mulai menjadi petani sejak tahun 2000. Tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada1985, ia sempat menjadi guru SD sebentar, karena pendapatan kecil, ia banting stir menjadi montir elektronik pada 1990.
Setelah banyak muncul bengkel elektronik lain, ia banting stir menjadi tukang bangunan hingga mengerjakan proyek pembangunan Rumah Sakit Adnan Payakumbuh. Namun ia tak memperoleh keuntungan, akhirnya pada 2000 kariernya berakhir di lahan pertanian.
Pak, pernah gak menanam di dataran rendah.dan apa kah bisa produksi nya sama, bila ditanam didataran rendah.