Potensi Singkong -> Renungan
UNIDO
(UN Industrial Development Organization) atau Badan PBB di bidang
Pembangunan Industri sudah sejak awal tahun 1980-an menerbitkan beberapa
laporan tentang potensi singkong atau ubi kayu atau sampeu atau manioc, terutama
di negara berkembang seperti di Indonesia yang memiliki lahan luas dan
memungkinkan, karena permintaan pasar produk singkong tersebut dalam
bentuk gaplek, tepung gaplek, dan terutama tepung tapioka, sangat
tinggi.
Dari data UNIDO sejak tahun 1982, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil manioc terbesar ke-3 (13.300.000 ton)
setelah Brasil (24.554.000 ton), kemudian Thailand (13.500.000 ton),
serta disusul oleh negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton), India
(6.500.000 ton), dan sebagainya, dari total produk dunia sebesar
122.134.000 ton per tahun. Walau dari hasil kebun per hektar (ha), Indonesia masih rendah, yaitu 9,4 ton,
kalau dibandingkan dengan India (17,57 ton), Angola (14,23 ton),
Thailand (13,30 ton), Cina (13,06 ton), Brasil (10,95 ton). Tetapi,
lahan yang tersedia untuk budidaya singkong cukup luas, terutama dalam
bentuk lahan di dataran rendah serta lahan di dataran tinggi berdekatan
dengan kawasan hutan.
Pada
umumnya, di Indonesia masih jarang budidaya singkong berbentuk
perkebunan dengan luas di atas lima hektar, karena umumnya masih
merupakan kebun sela atau tumpang sari setelah penanaman padi huma,
kebun hortikultura, ataupun hanya merupakan kebun sambilan, yang lebih
banyak ditujukan untuk panenan daun/pucuknya yang dapat dijual untuk
lalap, urab, ataupun makanan lainnya. Sedang dari ubinya, merasa sudah
cukup hanya menjadi makanan panganan, baik dalam bentuk keripik, goreng
singkong, rebus singkong, urab singkong, ketimus, opak, sampai ke bubuy singkong. Kadang-kadang dapat pula ditingkatkan menjadi makanan yang lebih “bergengsi” kalau menjadi “misro” (atau amis di jero/di dalam) atau “comro” (oncom di jero), dan sebagainya.
Ekspor
singkong Indonesia dalam bentuk gaplek (keratan ubi singkong yang
dikeringkan), tepung gaplek, ataupun tepung tapioka cukup meyakinkan dan
dapat bersaing, seperti gaplek Indonesia yang sangat terkenal di
mancanegara, terutama di Masyarakat Eropa (ME) sehingga harganya mampu
bersaing dengan produk sejenis dari beberapa negara di Afrika, juga dari
India dan Thailand, yaitu rata-rata dengan harga 65-75 dollar AS/ton,
kemudian meningkat sampai 130 dollar AS/ ton, padahal produk yang sama
dari India, Thailand, dan apalagi dari negara-negara di Afrika, hanya
mencapai 60 dollar AS/ ton dan tidak lebih dari 80 dollar AS/ton.
Akan
tetapi, berbeda dengan produk tapioka, yang semula Indonesia dikenal
sebagai penghasil tepung tapioka terbaik kualitasnya, bahkan mendekati
kualitas pharmaceutical grade atau produk bahan baku untuk
keperluan farmasi, tetapi tiba-tiba pada tahun 1980-an jatuh menjadi
kualitas terendah, kalah oleh produk sejenis dari negara-negara Afrika,
apalagi dari India dan Thailand.
Masalahnya
adalah, bahwa di dalam tepung tapioka hasil Indonesia terdapat residu
(sisa) pestisida yang membahayakan, bahkan di atas ambang batas.
Memang
budidaya singkong, pada umumnya di Indonesia, tidak menggunakan
pestisida, terutama insektisida (pembasmi hama). Tetapi, mohon untuk
diketahui, bahwa pada umumnya pabrik tapioka, yaitu pengolah ubi kayu
menjadi tepung, umumnya berada di lingkungan kawasan pertanian padi,
serta untuk keperluan pabrik, sejak mencuci ubi sebelum dihancurkan
(diparut), menghasilkan “larutan” tapioka dari parutan sampai ke
pengendapan dan memisahkan larutan menjadi “bubur” tapioka, dari selokan
yang keluar dari kotakan sawah. Jadi kalau dihitung secara teoretis (on paper)
penggunaan pestisida, apakah itu organofosfor ataupun lainnya,
rata-rata dua kilogram (kg) per ha sawah, maka sisa yang terdapat di
dalam air sawah, sekitar 150-200 ppm (part per million atau 1 mg per
liter). Dengan begitu, wajar saja kalau sisa/residu tersebut akan
terdapat antara 20-35 ppm pada tepung tapioka, sedangkan persyaratan WHO
harus kurang dari 0,05 ppm.
Saat
produk tapioka Indonesia jatuh dan terpuruk, maka kalau mau dijadikan
komoditas ekspor, khususnya ke Eropa, harus dijual dulu melalui
Singapura, karena di negara tersebut tapioka kita yang sudah tercemar
residu pestisida akan “dicuci” terlebih dahulu hingga memenuhi syarat,
kemudian baru diekspor ke beberapa negara di Eropa dengan nama “Made in
Singapore”, padahal, kelakar banyak pakar pertanian, di Singapura
tersebut jangankan ada kebun singkong, mencari untuk obat saja sudah
susah, dan baru ada di Malaysia.
Tahun
1980-an, ekspor produk singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek
dan tepung tapioka, umumnya ke negara-negara ME. Sedangkan yang
membutuhkan produk singkong Indonesia, banyak negara di luar ME.
Akibatnya keluar semacam SK Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
tahun 1990, yang menyatakan bahwa eksportir Indonesia yang mau
mengekspor ke luar ME akan dapat rangsangan 1:2, yaitu dalam bentuk
mereka akan dapat jatah ekspor ke ME sebesar dua kali jumlah ekspornya
ke non-ME.
Makin
menurunnya jumlah ekspor gaplek, karena penurunan produk singkong
Indonesia, misalnya dari 17,1 juta ton tahun 1989, menjadi 16,3 juta ton
tahun 1990. Ini disebabkan pula karena konsumsi di dalam negeri untuk
banyak kegunaan dalam bentuk singkong mencapai 12,65 juta ton, sehingga
sisa singkong yang akan digaplekkan hanya sekitar tiga juta ton saja.
Dengan catatan konversi (perubahan) dari ubi singkong segar menjadi
gaplek sekitar 30 persen saja. Karena itu, tidak heran kalau ekspor juga
ikut anjlok, yaitu dari sekitar 790.000 ton ke ME dan 657.104 ke luar
ME hanya menjadi 122.845 ton (tahun 1989-1990). Ternyata penurunan
tersebut terkait dengan banyak petani singkong yang sudah tidak mau lagi
menanam singkong; disebabkan antara lain karena “tanah bekas” singkong
menjadi lebih kurus karena selama penanaman tidak pernah dilakukan
pemberian pupuk, misalnya pupuk organik dalam bentuk pupuk hijau
(tanaman polong-polongan), serta faktor lainnya lagi, antara lain,
banyak pabrik tapioka daerah yang kemudian gulung tikar, sehingga produk
para petani kemudian banyak yang rusak, misalnya perubahan warna
menjadi kehitam-hitaman ataupun membusuk. Juga singkong untuk
bahan baku tapioka berbeda dengan singkong konsumsi, yaitu kandungan
senyawa cyanida lebih tinggi dan terasa pahit.
Petani,
bukan saja disebabkan karena keterbatasan lahan untuk budidaya singkong
yang menyebabkan mereka tidak tertarik, tetapi juga karena pemasaran
yang bertahap, sehingga dari petani bernilai antara Rp 36 – Rp 50/kg
segar, dan para pengumpul menerima sekitar Rp 75-Rp 100/kg *segar.
Dulu ketika di hampir tiap daerah/desa banyak bermunculan pabrik
pengolah singkong menjadi tapioka, hasil jerih payah mereka banyak
membantu pendapatan.
Bahwa
bertani singkong menguntungkan, banyak dialami petani di beberapa
daerah di Jawa Barat, mulai dari Kabupaten Purwakarta, Subang, Sumedang,
Tasik, Ciamis, Garut, sampai sukabumi dan Cianjur.
Mereka
menanam singkong bukan sekadar sambilan, tetapi sudah dikhususkan pada
lahan yang sudah ada, dengan luas antara 1-4 ha, umumnya terletak di
lereng pegunungan, berbatasan dengan lahan Kehutanan/Perhutani. Lahan
untuk tanaman singkong tidak harus khusus, dan tidak memerlukan
penggarapan seperti halnya untuk tanaman hortikultura lainnya, misal
sayuran. Juga selama penanaman, tidak perlu pemupukan dan pemberantasan
hama atau penyakit.
Ternyata
hasil tiap panen (antara 5-6 bulan setelah penanaman) dari luas 1 ha
akan dapat diraih keuntungan sekitar Rp 2.500.000, yaitu dari hasil
penjualan umbinya (4-6 ton) serta pucuk daunnya. Yang perlu diketahui,
bahwa selama budidaya tidak banyak pekerjaan yang harus dilakukan, misal
menyiangi gulma (hama). Tentu saja kalau hal ini dilakukan, hasilnya
akan dapat lebih baik lagi. Padahal bibit singkong yang mereka tanam
masih jenis tradisi, yang hanya memberikan hasil ubi sekitar 4-8 ton/ha.
Sekarang,
seperti yang dilakukan oleh para pengusaha singkong di daerah Lampung,
Sulawesi Selatan, serta daerah lainnya, di samping lahan yang digunakan
dapat lebih dari 500 ha/kebun, bahkan ada yang mencapai ribuan ha, juga
bibit singkong umumnya merupakan bibit unggul seperti Manggi (berasal
dari Brasil) dengan hasil rata-rata 16 ton/ha, Valenca (berasal dari
Brasil) dengan hasil rata-rata 20 ton/ha, Basiorao (berasal dari Brasil)
dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Muara (berasal dari Bogor) dengan
hasil rata-rata 30 ton/ ha, Bogor (asal dari Bogor) dengan hasil
rata-rata 40 ton/ha. Bahkan, sekarang ada pula jenis unggul dan genjah
(cepat dipanen), seperti Malang-1, dengan produksi antara 45-59 ton/ha
atau rata-rata 37 ton, Malang-2, dengan produksi rata-rata antara 34 –
35 ton/ha.
Semakin
banyak petani berdasi yang saat ini mulai melirik budidaya singkong
dengan luas tanam di atas 50 ha, terutama di Sumatera, Sulawesi, dan
Kalimantan, karena permintaan produk, terutama dalam bentuk gaplek,
tepung gaplek dan tepung tapioka, terus meningkat dengan tajam. Serta
produk olahan singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek dan
tepung gaplek, dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara-negara
di Afrika, juga dari Thailand dan India.
H UNUS SURIAWIRIA, Bioteknologi dan Agroindustri, ITB
*harga singkong dipasaran saat ini di jogja mencapai 500-700 /kg
Sudah sejak masa kuliah 20 tahun lalu saya membaca hasil tulisan Anda. Saat itu terutama adalah penelitian saya untuk Jamur Kayu (Pleuratus sajor caju sp)
Saya di Fak Pertanian UNPAD… angkatan 1987, Agronomi.
Pak, bila ANda berkenan untuk membukakan networking bagi pengusahaan species ini dari industri hulu ke hilirnya….. mulai dari penanaman ke food industry…
Demikian Pak, terima kasih
Hormat Saya,
Endang HN Utami, 02196197689