TELAAH KHUSUS JULI II, 2000 |
Teknik Budidaya
Soegiri Karjo Berdayakan Petani Lewat Singkong Raksasa
Pengantar:
Siapa orang yang tak mengenal singkong? Umbi ini memang multimanfaat. Bisa dibuat dalam berbagai penganan, dari sejak tape, combro, gegetuk, hingga bahan baku industri, seperti chips, gaplek, dan tapioka. Di kalangan petani belum ada yang menanam secara khusus karena nilai jualnya yang rendah. Kalaupun ditanam, hanya sebagai tanaman penyelang yang ditanam di tanah-tanah miskin saja. Ternyata sebenarnya ada singkong raksasa varietas unggul Darul Hidayah, yang dibutuhkan oleh industri dan berpeluang ekspor. Kebutuhannya sangat besar. Bahkan kini dibuka kemitraan, untuk siapa saja oleh sebuah perusahaan besar. Guna menelusuri hal ini, redaksi menurunkan Kuswari (Bandung) ke tempat pengembangan singkong raksasa ini. Hasil liputannya, kemudian disunting dan dilengkapi oleh Managing Editor, Dedi Riskomar. Semoga bermanfaat.
Redaksi
SINGKONG raksasa, merupakan umbi kayu keluarga “Manihot Utilissima” yang memiliki keistimewaan tersendiri. Sesuai dengan namanya, singkong ini berbeda dengan yang biasa ditanam para petani kita yang bentuknya kecil-kecil. Singkong jenis ini, mampu berproduksi 10 kali lipat singkong biasa.
Ini tidak lain, karena penemuan varietas unggul yang sangat mengagumkan oleh KH. Abdul Jamil, Pimpinan Pondok Pesantren Darul Hidayah Tulang Bawang, Lampung Tengah. Kemudian oleh Dr. Niti Soedigdo melalui Koperasi Tani Jaya Kodya Lampung dikembangkan dan dibudidayakan hingga menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.
Meskipun bibitnya, telah ribuan batang dikembangkan, tetapi kebutuhan terhadap singkong raksasa ini belum terpenuhi juga. Apalagi beberapa perusahaan dalam dan luar negeri, mulai tertarik dengan singkong raksasa ini. PT. Lautan Warna Sari, sebuah perusahaan besar membutuhkan tepunga tapioka dalam jumlah yang besar.
Singkong raksasa varietas Darul Hidayah ini, telah mendapat pengesahan resmi dari Menteri Pertanian melalui Nomor: 867/Kpts/TP.240/11/98. Diakui pula oleh Badan Benih Nasional, sebagai singkong unggul yang berkualitas baik. Potensi hasil per hektar, bisa mencapai 102,10 ton ubi segar dengan kadar pati 25%-30%.
Bandingkan dengan singkong biasa, yang secara maksimal hasil produksi mencapai 20-30 ton per hektar dengan kadar pati di bawah 20%. Pihak Deptan sendiri, telah merekomendasikan singkong raksasa ini ke instansi terkait secara menyeluruh dengan harapan agar singkong raksasa varietas Darul Hidayah ini, dikembangkan untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Melihat potensi pasar singkong raksasa, menurut Ir. Nandang Sudrajat dari Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (Yapmi) Jawa Barat, singkong raksasa ini peluang pasarnya sangat terbuka luas.
“Kami yang bekerjasama dengan PT. Lautan Warna Sari, yang bertindak sebagai fasilitator dan penyandang dana untuk bibit singkong raksasa, saat sekarang sudah mengembangkan sentra-sentra pertanian di beberapa daerah yaitu Garut, Subang, dan Ciwidey dengan lahan tanah yang tersedia mencapai puluhan hektar,” ungkap Nandang belum lama ini. Nandang sendiri, selama ini dipercaya oleh PT. Lautan Warna Sari, sebagai konsultan yang bergerak dalam pengembangan singkong raksasa dan membina para petani.
Sedangkan untuk sentra-sentra pertanian yang baru, lanjut Nandang, mengingat prospeknya yang sangat bagus, diupayakan pendanaannya dari lembaga keuangan untuk koperasi petani yaitu untuk biaya budidaya al: biaya pengolahan lahan, bibit, pupuk dan panen dan untuk koperasi industri pengolahan singkong segarnya.
Sangat Potensial
Menurut Nandang, merupakan suatu tantangan dan peluang bagi petani kita, bagaimana memanfaatkan lahan-lahan tidur yang selama ini tidak digarap, sebab kalau melihat data dan fakta, jelas sekali peluang untuk meningkatkan kesejahteraan petani begitu tinggi,” tandas alumni Unisba ini. Ia mengharap agar potensi pasar yang sangat besar itu jangan disia-siakan, apalagi pihaknya siap menjalin kemitraan untuk pengembangan budidaya singkong raksasa secara lebih menyeluruh.
“Saat sekarang baru 300.000 bibit singkong raksasa yang kami tanam di beberapa daerah. Jumlah sebesar itu belum mencukupi,” lanjutnya.
Meski demikian, Nandang mengakui bahwa selama ini anggapan terhadap singkong kurang begitu menggembirakan. Hal ini erat kaitannya, dengan keberadaan singkong biasa yang cenderung hanya digunakan sebagai bahan keripik, tape singkong dan ada yang diolah jadi tepung tapioka secara tradisional, sehingga nilai jual singkong sampai sejauh ini sangat rendah.
Maka tak heran, kalau banyak petani yang segan untuk menekuni budidaya singkong, karena singkong harganya tidak berarti dibandingkan dengan biaya pengolahannya, apalagi kemampuan panen per satuan lahan hanya berkisar 30 ton per hektar dalam masa 9 bulan. “Namun dengan adanya singkong raksasa dan pasarnya terjamin, Insya Allah singkong bisa memberi nilai keuntungan yang tidak sedikit,” tandasnya.
Kemitraan
Melalui lembaga Yapmi Jabar, Nandang terus melakukan kerjasama kemitraan, dengan para petani yang berminat terjun budidaya singkong raksasa. Sedangkan investor, yang siap menampung hasil pasca panen ialah PT. Lautan Warna Sari yang pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Koperasi Karyawan (Kopkar) PT. Lautan Warna Sari sebagai bahan baku di dalam proses industri tapioka yang akan didirikan pada setiap sentra pertanian.
Sementara itu, Direktur Utama PT. Lautan Warna Sari, Soegiri Kardjo, Dipl. Eng dalam keterangannya kepada “MB” mengatakan, bahwa perusahaan yang dipimpinnya bergerak di bidang kimia tekstil yaitu Dyestuff (zat warna), Auxiilaiaries (bahan kimia pembantu), dan Sizing (Modified Starch yaitu produk yang berbahan baku tapioka dengan pengolahan secara kimiawi). Modified Starch ini, kata Soegiri, selain dikonsumsi oleh industri tekstil, juga dibutuhkan oleh industri-industri lainnya seperti gypsum dan kertas. “Hanya berbeda proses pengolahan kimiawi dari bahan baku tapioka tersebut,” ujarnya.
Dalam penjelasannya, Soegiri mengatakan juga, kebutuhan akan tepung tapioka sangat besar sekali, baik untuk industri di dalam negeri, selain untuk pabrik kerupuk, juga untuk industri gula cair, sorbitol, kertas, tekstil dll. “Kesempatan untuk ekspor sangat besar sekali, karena kebutuhan tepung pati di dunia, yaitu tepung pati kentang, tepung pati gandum, tepung pati jagung, baik di Eropa, Amerika, Jepang, dan China sangat besar sekali terutama untuk industri-industri turunannya,” katanya.
Menurut Soegiri, harga tepung pati tapioka sangat bersaing sekali dibandingkan dengan tepung pati tersebut di atas. Sayang sekali jalur pemasarannya kurang ke luar negeri dan belum ditempuh sama sekali. “Bahkan Indonesia impor dari Thailand secara besar-besaran terutama di tahun 2000 ini, karena adanya kekurangan panenan singkong yang rata-rata telah menunjukkan adanya penurunan luas lahan ubi kayu.
Produksi ubi kayu dan produksi tapioka pada tahun 1993-1998, lanjut Soegiri, yaitu luas lahan ubi kayu pada tahun 1993 sebesar 1.401.640 ha menjadi sebesar 1.211.871 ha pada tahun 1998, sedangkan produksi ubi kayu (1993) sebesar 17.255.355 ton menjadi 14.888.793 ton (1998).
Adapun produksi tapioka pada tahun 1993 sebesar 1.335.583 ton menjadi sebesar 1.116.839 ton pada tahun 1998. Sedangkan suplai tepunga tapioka di Indonesia dari tahun 1993-1998 yaitu produksi tapioka (1993) sebesar 1.335.58i3 ton, ekspor 105.187 ton, impor 4 ton, pada tahun 1998 produksi tapioka 1.116.836 ton, ekspor 82.825 ton dan impor meningkat menjadi 113.331 ton. “Prediksi untuk tahun 1999, produksi tepung tapioka merosot di bawah 1.000.000 ton, konsekuensinya impor tapioka dari Thailand sangat besar sekali melebihi 300.000 ton.
“Dari data-data tersebut di atas, jelas bahwa produksi tepung tapioka kita akan semakin menurun kalau tidak segera diantisipasi sejak dini. Itu sebabnya kita harus bangkit, jangan kalah dengan Thailand,” ujar Soegiri sambil menambahkan, negeri kita jangan seperti pepatah bak ayam mati di lumbung padi. Padahal luas area nusantara Indonesia sangat luas dan besar, subur dan paling cocok untuk pertanian singkong dengan letak geografisnya di khatulistiwa, 12 jam dalam sehari, 12 bulan dalam setahun dengan sinar matahari yang tidak pernah sirna selalu terang benderang sangat potensial sekali untuk pertanian singkong. “Sayang sekali belum tergarap secara intensif dan terpadu dengan pengusaha-pengusaha tapioka secara baik. Sampai saat ini selalu terjadi ajang bantai-membatai antara petani singkong dengan pengusaha tapioka. Pada saat panen raya, harga singkong ditekan rendah oleh para pengusaha tapioka. Akhirnya petani tidak mau tanam singkong karena terlalu murah, produksi ubi kayu rendah, masa tanam yang lama sehingga pasokan singkong semakin berkurang. Akibatnya pabrik tapioka terpaksa menghentikan produksinya dan kita harus mengimpor dari Thailand, dengan kata lain kita mensubsidi petani Thailand daripada petani kita sendiri,” jelasnya.
Melihat kenyataan itu, Soegiri tergerak hatinya untuk bekerjasama dengan Yapmi Jabar dalam budidaya singkong raksasa yang melibatkan petani-petani binaan. Dengan panjang lebar, Soegiri mengungkapkan tentang singkong, yang sebagian besar banyak masyarakat yang belum tahu pemanfaatan singkong untuk berbagai industri.
“Dari mulai bangun pagi sampai kita tidur, sebenarnya kita tidak lepas dari singkong, hanya dalam bentuk olahan lain. Gosok gigi tidak terlepas dari singkong karena tapal gigi bahannya dari sorbitol. Minum kopi, gulanya bisa juga dari singkong. Makan nasi goreng, vetsinnya dari singkong. Pakai baju bahannya dari sizing/finashup-nya dari singkong. Baca koran, kertasnya dibuat dari perekat singkong. Minum Cocacola pemanisnya HFS dari singkong. Minum Vitamin C, sorbitolnya dari singkong, sampai ketemu besok lagi tidak lepas semuanya dari singkong,” katanya.
Pihaknya memang mengakui, bahwa krisis moneter yang terjadi di Indonesia mempunyai dampak yang cukup serius terhadap perusahaannya. Maka salahsatu upaya mengatasi bahan baku dari luar negari ialah, dengan menciptakan terobosan baru menggantikan produk bahan baku impor dengan produk berbahan baku lokal tepung tapioka.
“Untuk memenuhi bahan baku industri tapioka, kami membutuhkan singkong dalam jumlah yang tidak sedikit. Maka untuk memenuhi jumlah yang besar itu, kami harus melakukan kemitraan dengan petani di berbagai daerah,” tandasnya. Untuk itu, ia bekerjasama dengan Yapmi Jabar dalam mengembangkan budidaya singkong raksasa, dengan harapan singkong raksasa mampu memproduksi secara lebih besar dan perusahaan tidak kekurangan bahan baku.
Ia menawarkan program kemitraan yang saling menguntungkan, “Kami sebagai produsen, yang mengolah tapioka beserta proses turunannya. Sedangkan koperasi karyawan di lingkungan kami, merupakan pemasok tepung tapioka secara menyeluruh,” ujarnya sambil menambahkan, Kopkar PT. Lautan Warna Sari yang diketuai Tri Haryanto telah merancang sentra industri tapioka di setiap sentra pertanian singkong dengan kapasitas 2,5 ton per jam atau sama dengan 25 ton per hari yang berarti membutuhkan 125 ton singkong segar setiap harinya dalam skala lahan pertanian seluas 300 ha.
Melalui program pengembangan budidaya singkong raksasa, selain dapat meningkatkan kesejahteraan petani desa juga dapat menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. Urbanisasi ke kota, untuk mencari kerja yang belum jelas bisa diantisipasi kalau program proyek singkong raksasa bisa berjalan. “Itu sebabnya proyek budidaya singkong raksasa Darul Hidayah ini perlu dukungan semua pihak, baik Pemda, lembaga perbankan maupun para petani,” katanya.-
Singkong Raksasa oleh PT. Lautan Warna Sari akandikelola secara teknologi tinggi untuk memenuhi kebutuhan berbagai industri pangan, tekstil, kertas, dll. Karyawan PT. Lautan Warna Sari tengah bekerja di pabrik.*
Teknik Budidaya DALAM pemeliharaan, maupun pengembangan singkong raksasa, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan singkong biasa. Namun agar hasilnya lebih baik, tentunya dalam pemeliharaan setelah menanam harus benar-benar diperhatikan.
Beberapa petunjuk di bawah ini dalam pengembangan budidaya singkong raksasa:
1). Siapkan beberapa alat pertanian seperti belincong, garpu, cangkul, traktor dll. Selanjutnya tanah dicangkul, dengan memperhatikan kedalaman tidak kurang 30 cm. Tanah usahakan sampai gembur, dan digaru bersamaan dengan pupuk organik.
2). Perhatikan jarak tanam, antara 1 x 1 m yang dipergunakan untuk populasi 10.000 batang per hektar.
3). Lakukan kegiatan pemupukan, secara berimbang (900 kg/ha) a. Pada saat tanam diperlukan 100 kg urea, 300 kg SP 36, 75 kg KCl dan 75 kg ZA, b. Pada umur 2 bulan diperlukan 100 kg urea, 75 kg KCl dan 75 kg ZA, c. Umur 5 - 6 bulan diperlukan 100 kg urea, 50 kg KCl dan 50 kg ZA.
4). Langkah selanjutnya adalah, penyiangan yang harus dilakukan 3 kali yaitu pada usia 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan dengan kerja yang perlu kehati-hatian, dan sama sekali tidak boleh digulud karena singkong buah sangat panjang berkisar 2 m. Bila ada hujan turun, umbi bisa naik ke permukaan tanah.
5). Cabang tanaman agar tidak lebih dari 2 batang karena mempunyai pengaruh pada singkong, juga agar sinar matahari dapat masuk ke permukaan tanah.
6). Usia panen idealnya pada umur 6-9 bulan, yang kadar patinya bisa mencapai 20 - 31%. (Bila masa panen agak dipercepat pada usia 7 bulan misalnya, maka kadar pati kemungkinan di bawah standar dengan hasil singkong rata-rata 20 kg setiap pohonnya).
7). Untuk mencapai hasil yang maksimal, hendaknya dilakukan budidaya secara intensif dan perlakuan penyulaman.
8). Perhatikan dalam memperlakukan bibit singkong ini. Permukaan atas dan bawah stek bibit, diusahakan ditutup lilin apabila lebih dari 3 hari.
Bila bibit harus diangkut ke luar daerah menggunakan kendaraan, maka setiap 300 kg harus disiram dengan air karena singkong raksasa peka terhadap kekeringan. Selain itu, bibit harus dilapisi atau ditutup dengan lembaran daun singkong.
9). Cara panen harus menggunakan pengungkit dari bambu panjang agar umbi mudah dicabut dan diangkat.-
Soegiri :
Soegiri Karjo Berdayakan Petani Lewat Singkong Raksasa
KRISIS moneter bagi perusahaan tesktil, jelas mempunyai dampak yang cukup serius. Namun bagi pengusaha kelahiran Bojonegoro Jawa Timur ini, memberikan hikmah yang sangat besar. Bahan-bahan yang semula diperoleh dari luar negeri, sejak dua tahun terakhir secara perlahan mulai diganti.
“Saya berusaha agar bahan-bahan lokal, bisa dimanfaatkan dan bisa memberdayakan petani di daerah. Salahsatunya adalah mengembangkan singkong raksasa,” ungkap Soegiri Karjo, Dipl. Ing. Direktur Utama PT. Lautan Warna Sari, saat berbincang dengan “MB”, belum lama ini.
Selama ini, produksi yang dijalankan perusahaannya ialah Dyestuff, Auxiliariues and sizing serta production of modified starch dengan mempekerjakan 100 orang karyawan. Untuk pengembangan usahanya, telah mempunyai cabang di Jakarta dan Solo.
Ia sendiri mengetahui, tentang singkong raksasa melalui Tabloid Mitra Bisnis edisi IV Desember 1999, yang memuat profil tentang singkong raksasa. Sejak itu, ia berusaha untuk mengetahui budidaya singkong raksasa, dan sengaja datang ke Lampung.
Setelah banyak berdialog, ia semakin tertarik dan ingin mengembangkan secara besar-besaran, apalagi singkong raksasa ini telah diakui oleh pemerintah. “Saya sangat respon dengan singkong raksasa, apalagi hasil panennya bisa mencapai 150 ton per hektar,” kata Soegiri yang pernah tinggal di Jerman dan Jepang.
Kebutuhan singkong raksasa, yang diproyeksikan tidak terbatas oleh Soegiri, diperuntukan bahan pembuatan oxdized starch, starch ether, starch ester dan cationic starch. “Selain itu, peluang ekspor sangat terbuka kalau melihat potensi terutama untuk negara Eropa, Asia, dan Amerika. Unggul Potensi
Pesaing berat bagi kita adalah negara Brazil, namun kita masih unggul dengan potensi alam. Tapi sayang belum diberdayakan secara optimal,” kata Soegiri yang sangat optimis program singkong raksasa yang memanfaatkan lahan tidur, akan bisa mensejahterakan masyarakat banyak di berbagai daerah.
Untuk itu, lanjut Soegiri, konsep pengembangan budidaya singkong telah dipersiapkan secara matang, dan melibatkan para ahli pertanian serta sarjana lain, yang menguasai manajemen sumber daya manusia secara terpadu. Kalau pun terjadi booming pasca panen, kata Soegiri, hal itu sudah dipersiapkan matang-matang.
“Namun tentu saja, ini perlu dukungan semua pihak demi kemajuan bersama. Saya tidak ingin adanya saling bantai antara pengusaha dan petani, seperti yang terjadi selama ini. Marilah kita bersama-sama, untuk bersatu membangun kebersamaan,” tandasnya berharap.
Bagi Soegiri sendiri, yang banyak belajar bisnis di luar negeri, terlihat adanya keterpaduan antar semua lini, sehingga semua pihak saling diuntungkan. “Kita harus banyak belajar dari Jerman masalah pengembangan usaha yang melibatkan banyak orang, sehingga hasilnya sangat menguntungkan semua pihak,” kata Soegiri mengakhiri obrolan dengan “MB” di ruang kerjanya.-